Mengenal Gejala Gangguan Mental pada Remaja dan Cara Menghadapinya
Mengenal Gejala Gangguan Mental pada Remaja dan Cara Menghadapinya
Pendahuluan
Remaja hidup di tengah banyak perubahan. Tubuh mereka berkembang, pikiranmereka mulai menilai dunia secara lebih kompleks, dan tekanan dari berbagai arahmulai muncul—mulai dari tuntutan belajar, pergaulan sosial, ekspektasi keluarga, hingga pengaruh media sosial yang terus membanjiri keseharian mereka. Saat beban-beban ini datang bersamaan, tidak semua remaja mampu mengelolanya dengan baik. Beberapa dari mereka merasa bingung, kewalahan, atau bahkan kehilangan arah. Namun sering kali, kondisi tersebut tidak terlihat secara kasat mata. Mereka tetapdatang ke sekolah, tersenyum, bermain dengan teman-temannya, meskipun di dalamhati mereka merasa sedang tidak baik-baik saja (Kamila et al, 2025).
Kesehatan mental pada remaja masih menjadi persoalan yang belum banyakdibicarakan secara terbuka. Padahal, data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa satu dari tujuh anak usia 10 hingga 19 tahun mengalami gangguanmental. Gangguan seperti depresi, kecemasan, dan gangguan perilaku menjadi yang paling umum. Sayangnya, sebagian besar dari kondisi tersebut tidak terdeteksi sejakawal dan tidak tertangani secara tepat, sehingga dapat memengaruhi hubungan sosial, proses belajar, bahkan mengarah pada risiko yang lebih serius di kemudian hari.
Di Indonesia, masalah ini juga bukan hal baru. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 mencatat bahwa sekitar 6,1% penduduk berusia 15 tahun ke atasmengalami gangguan mental emosional. Angka ini belum termasuk remaja yang belumterdeteksi secara resmi atau yang memilih menyembunyikan kondisinya karena takutdicap aneh, lemah, atau hanya dianggap mencari perhatian. Dalam Profil Kesehatan Remaja Indonesia tahun 2022, tercatat ribuan kasus gangguan jiwa berat pada usiasekolah, menunjukkan bahwa tekanan mental pada usia muda tidak bisa lagi dianggapsebagai hal sepele.
Sayangnya, di masyarakat masih berkembang anggapan bahwa gangguan mental adalah bentuk kelemahan diri. Tidak sedikit pula orang dewasa yang justrumenyepelekan keluhan emosional dari anak-anak atau remaja dengan kalimat seperti, “kamu cuma butuh liburan,” atau “jangan terlalu banyak main handphone.” Akibatnya, banyak remaja yang memilih diam, memendam perasaannya, dan tidak tahu harusberbicara kepada siapa. Sementara itu, orang tua atau guru belum tentu memilikipemahaman cukup untuk mengenali tanda-tanda awal gangguan mental.
Pemahaman yang keliru ini bisa menjadi penghambat terbesar bagi remaja untukpulih dan berkembang. Gangguan mental bukanlah hal yang bisa diselesaikan denganmotivasi semata, melainkan membutuhkan dukungan emosional, pemahaman, dan jikaperlu, penanganan dari tenaga profesional. Oleh sebab itu, mengenali gejala-gejalagangguan mental sejak dini menjadi langkah awal yang penting agar tidak ada lagiremaja yang merasa sendirian saat menghadapi masalahnya sendiri.
Tulisan ini mencoba menjelaskan bagaimana gangguan mental dapat munculpada remaja, seperti apa tanda-tandanya, dan bagaimana upaya yang bisa dilakukanuntuk membantu mereka menghadapinya. Tidak hanya untuk mereka yang mengalami, tetapi juga untuk lingkungan sekitar yang seharusnya menjadi tempat aman dan ramahuntuk bercerita. Harapannya, masyarakat dapat lebih peka, bukan hanya terhadap gejalayang tampak secara fisik, tetapi juga terhadap hal-hal yang sering tersembunyi di baliksenyum remaja yang tampaknya baik-baik saja.
Pembahasan
Remaja berada pada tahap kehidupan yang penuh perubahan. Di usia ini, merekasedang membangun jati diri, belajar memahami dunia, dan perlahan-lahan melepaskandiri dari ketergantungan masa kanak-kanak. Sayangnya, tidak semua perubahan yang mereka alami berjalan dengan mulus. Dalam prosesnya, sebagian remaja menghadapitekanan yang melebihi kapasitas mereka untuk mengelola. Ketika tekanan tersebut tidakbisa dikelola dengan baik, gejala-gejala gangguan mental mulai muncul—pelan-pelan, samar, dan sering kali tidak disadari oleh orang di sekitar mereka.
Banyak remaja tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya. Mereka hanyamerasa “berbeda”, merasa lebih lelah dari biasanya, lebih cepat kesal, atau tiba-tibamerasa tidak ada lagi hal yang membuat mereka bahagia. Perubahan itu tidak selaluterlihat mencolok. Justru karena itulah, gejala gangguan mental pada remaja sering kali luput dari perhatian. Berikut adalah gambaran mengenai bentuk-bentuk gejala yang umumnya dialami remaja yang sedang mengalami gangguan kesehatan mental.
1. Gejala Emosional
Salah satu gejala yang paling umum namun kerap disalahpahami adalahperubahan emosi yang drastis dan berlangsung terus-menerus. Remaja yang mengalamigangguan mental bisa tampak sangat mudah marah, bahkan karena hal-hal sepele yang sebelumnya tidak mengganggu mereka sama sekali. Mereka mungkin membentak tanpasebab, meninggikan suara pada orang tuanya, atau bersikap kasar kepada teman yang selama ini dekat. Namun di balik kemarahan itu, sering kali tersimpan rasa takut, kecewa, atau kelelahan yang tidak bisa mereka ungkapkan dengan kata-kata.
Di waktu lain, mereka bisa tiba-tiba menjadi sangat sedih. Ada remaja yang menangis di kamar secara diam-diam, bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya merekatangisi. Perasaan kosong, hampa, dan tidak bersemangat muncul begitu saja. Semangatmereka untuk melakukan hal-hal yang dulu disukai—seperti bermain musik, menulis, menggambar, atau sekadar bercanda dengan teman—hilang tanpa alasan yang jelas. Mereka mulai menjauh dari lingkungan sosial, merasa bahwa keberadaannya tidakterlalu penting, atau bahwa tidak ada orang yang benar-benar peduli (Abbas et al, 2022).
Perubahan suasana hati terjadi begitu cepat. Seseorang bisa tampak ceria di pagihari, namun sore harinya terlihat sangat murung. Emosi menjadi sulit ditebak, tidakhanya oleh orang lain, tetapi juga oleh remaja itu sendiri. Mereka mulai meragukanperasaan mereka, dan dalam banyak kasus, hal itu membuat mereka merasa semakinterasing bahkan dari diri sendiri.
2. Gejala Kognitif
Gejala kognitif muncul dalam bentuk kesulitan dalam berpikir, mengingat, dan berkonsentrasi. Seorang remaja yang biasanya dapat menyelesaikan tugas sekolahdengan lancar, tiba-tiba menjadi pelupa, kehilangan fokus, atau merasa bahwa pelajaranyang dulu mudah kini terasa berat dan membingungkan. Di kelas, mereka duduk diam, tetapi pikiran mereka melayang entah ke mana. Mereka tidak mampu menyerappenjelasan guru, tidak karena tidak peduli, tapi karena otak mereka sedang diselimutikabut kecemasan dan kekacauan (Saraggih, 2023).
Muncul juga pikiran-pikiran negatif yang datang secara terus-menerus. Merekamulai mempertanyakan diri mereka sendiri—“Kenapa aku begini?”, “Apakah akumenyusahkan orang lain?”, “Apa gunanya aku di sini?”. Pikiran-pikiran ini munculsecara spontan, berulang, dan tidak mudah untuk dihentikan. Ada pula yang mulaimerasa tidak pantas dicintai, merasa tidak berguna, dan perlahan menarik diri dariinteraksi sosial karena yakin bahwa mereka hanyalah beban bagi orang lain.
Dalam beberapa kasus, pikiran tersebut berkembang menjadi ide-ide yang lebihberbahaya. Beberapa remaja mulai menyimpan pikiran tentang menyakiti diri, ataubahkan mengakhiri hidupnya sendiri, bukan karena mereka ingin mati, tetapi karenamereka merasa tidak sanggup lagi menanggung rasa sakit yang tidak terlihat oleh siapapun. Inilah mengapa gejala kognitif sangat penting untuk dikenali sejak awal.
3. Gejala Fisik
Meski gangguan mental berakar pada kondisi psikologis, gejalanya juga bisadirasakan secara fisik. Banyak remaja mengeluhkan sakit kepala, nyeri otot, atau perutmual, tanpa sebab medis yang jelas. Tubuh mereka menjadi refleksi dari tekanan batinyang tidak tersampaikan. Mereka merasa lelah sepanjang waktu, bahkan setelah tidurberjam-jam, seolah tidak ada energi tersisa untuk memulai hari.
Gangguan tidur menjadi salah satu tanda yang paling mudah dikenali. Ada yang tidak bisa tidur sama sekali, hanya bisa terpejam sesaat lalu terbangun berulang kali. Ada pula yang tidur terlalu lama, namun tetap merasa tidak segar. Tidur tidak lagimenjadi tempat beristirahat, melainkan bentuk pelarian untuk menghindari kenyataan. Pola makan juga berubah. Nafsu makan menghilang, atau justru meningkat secaradrastis. Makanan tidak lagi dirasakan sebagai kebutuhan tubuh, tetapi sebagaipelampiasan atau bahkan hal yang dilupakan sama sekali (Wandasari, 2024).
Perubahan fisik ini sering disalahartikan sebagai penyakit biasa atau dianggapsebagai bentuk “malas” semata. Padahal, tubuh sedang menunjukkan bahwa ada sesuatuyang tidak beres di dalam diri. Remaja tidak hanya merasa lelah secara fisik, tetapi juga lelah secara emosional dan mental. Dan lelah yang seperti ini tidak bisa disembuhkanhanya dengan tidur atau beristirahat. Mereka butuh dukungan, bukan penilaian.
4. Cara Menghadapi Gangguan Mental pada Remaja
Menghadapi gangguan mental bukanlah perkara mudah, apalagi bagi remajayang mungkin belum sepenuhnya memahami apa yang sedang terjadi pada dirinya. Namun bukan berarti tidak mungkin. Langkah pertama yang paling penting adalahmenyadari bahwa mereka sedang mengalami sesuatu yang tidak wajar. Mengenaliperubahan suasana hati, perubahan pola tidur dan makan, atau munculnya pikirannegatif adalah titik awal yang baik. Semakin cepat mereka menyadari, semakin besarpeluang untuk pulih lebih dini.
Di tahap ini, peran keluarga menjadi sangat krusial. Orang tua atau saudara yang peka terhadap perubahan perilaku remaja dapat menjadi orang pertama yang membantu. Komunikasi yang terbuka dan empatik sangat dibutuhkan—bukan untukmenginterogasi, tetapi untuk mendengarkan dan memahami. Terkadang, remaja hanyabutuh diyakinkan bahwa perasaannya valid, bahwa mereka tidak berlebihan, dan bahwamereka tidak sendirian. Suasana rumah yang penuh tekanan, justru akan membuatmereka semakin menutup diri (Indari et al, 2023).
Sekolah sebagai tempat remaja menghabiskan sebagian besar waktunya juga memiliki tanggung jawab besar. Guru dan tenaga pendidik perlu dilatih untukmengenali tanda-tanda awal gangguan mental, serta menyediakan ruang aman bagisiswa yang sedang mengalami kesulitan. Alih-alih memberikan sanksi ataumenghakimi, pendekatan yang suportif akan membuat remaja lebih percaya untukterbuka. Sebuah ruang konseling yang aktif, program kesehatan mental, atau bahkansekadar guru yang bisa menjadi tempat curhat, bisa membawa perubahan besar.
Salah satu langkah pencegahan terbaik adalah edukasi sejak dini. Remaja perludiperkenalkan pada pentingnya menjaga kesehatan mental, sama seperti menjagakesehatan fisik. Mereka perlu tahu bahwa tidak apa-apa merasa sedih, tidak apa-apabutuh bantuan, dan tidak ada yang salah jika mereka berkonsultasi dengan psikolog. Dengan pengetahuan yang cukup, mereka dapat mengenali tanda-tanda bahaya dan tahuke mana harus mencari pertolongan.
Ketika kondisi mulai mengganggu aktivitas sehari-hari, tidak ada salahnyamencari bantuan dari tenaga profesional. Konselor sekolah, psikolog klinis, ataupsikiater dapat membantu merumuskan strategi pemulihan. Ada banyak bentuk terapiyang bisa dilakukan—baik itu konseling individu, terapi kognitif-perilaku, maupunpenanganan medis jika diperlukan. Hal terpenting adalah membuka diri untukmendapatkan pertolongan tanpa rasa malu atau takut dinilai.
Selain dukungan eksternal, remaja juga dapat membantu dirinya sendiri denganmembangun kebiasaan yang menyehatkan. Tidur yang cukup, konsumsi makananbergizi, aktivitas fisik ringan, dan membatasi waktu layar bisa sangat membantu dalammenstabilkan suasana hati. Aktivitas seperti menulis jurnal, meditasi ringan, mendengarkan musik, atau berjalan kaki di pagi hari, bisa menjadi terapi sederhanayang membantu mereka terhubung kembali dengan dirinya sendiri. Menghadapigangguan mental bukan tentang menjadi kuat tanpa menangis, tetapi tentang beranimenerima bahwa semua orang bisa merasa rapuh—dan itu tidak apa-apa. Yang pentingadalah tidak menyerah, dan selalu percaya bahwa bantuan pasti ada, selama merekamau mencari dan menerima dengan tangan terbuka.
Kesimpulan
Gangguan mental pada remaja bukanlah hal yang bisa dianggap remeh. Gejala-gejalanya sering kali muncul dalam bentuk yang tampak sepele, tetapi sebenarnyamenyimpan tekanan yang cukup dalam. Karena itu, penting bagi remaja dan orang-orang di sekitar mereka untuk lebih peka terhadap perubahan emosi, pikiran, maupunkondisi fisik yang berlangsung terus-menerus.
Kesadaran akan gejala gangguan mental perlu ditumbuhkan sejak dini agar remaja tidak merasa sendirian atau bingung saat mengalaminya. Dukungan darilingkungan sangat dibutuhkan, baik dari keluarga, sekolah, maupun teman sebaya. Lingkungan yang terbuka dan penuh pengertian bisa menjadi tempat aman bagi remajauntuk jujur tentang perasaannya dan mencari bantuan tanpa rasa takut atau malu.
Saran
Penting bagi sekolah untuk mulai mengintegrasikan edukasi kesehatan mental dalam kegiatan pembelajaran atau program khusus. Semakin banyak remaja mengenaldan memahami kondisi mental, semakin besar pula peluang mereka untuk menjaga diridan saling membantu.
Masyarakat juga diharapkan lebih terbuka terhadap isu ini. Stigma dan anggapannegatif terhadap orang yang mengalami gangguan mental harus mulai dikurangi. Setiaporang punya perjuangannya masing-masing, dan tidak semua luka terlihat oleh mata.
Kepada para remaja, penting untuk diingat bahwa mencari bantuan bukan tandakelemahan, tetapi langkah berani untuk menyelamatkan diri. Tidak ada yang salah jikamerasa lelah atau bingung. Yang penting adalah tetap berusaha dan percaya bahwamereka tidak sendiri—selalu ada jalan untuk pulih.
REFERENSI
Abbas, N. A., & Jasmi, K. A. (2022). Masalah Kesihatan Mental dalam KalanganRemaja. In Seminar Falsafah Sains dan Ketamadunan (SFST) (Vol. 4, No. 1, pp. 423-431).
Djohan, S. E., Lestari, R. D., Lestari, E., & Napitu, I. C. (2022). Gangguan mental emosional dan depresi pada remaja. Healthcare Nursing Journal, 4(2), 429-434.
Indari, I., Asri, Y., Aminah, T., & Rizzal, A. F. (2023). Peer education: kesehatan mental remaja untuk pencegahan gangguan mental remaja di desa ngadas. Journal of Health Innovation and Community Service, 2(2), 65-70.
Kamila, L., Aliansy, D., Nuraeni, E. L., Azizah, S. R. N., Al Avissina, M., Hamzah, N. R., ... & Salsyabilla, R. N. (2025). Penyuluhan Kesehatan Terkait Kesehatan Mental pada Remaja di SMK Kesehatan Surya Global Cimahi, Jawa Barat. Jurnal Abdi Masyarakat Indonesia, 5(1), 287-294.
Saragih, S. A. (2023). Terapi Kognitif Perilaku dalam Pengobatan GangguanKecemasan. literacy notes, 1(2).
Wandansari, S. A. (2024). Psikologi Abnormal: Menelusuri Gangguan-GangguanPsikologis Beserta Keunikannya. Anak Hebat Indonesia.
Komentar
Posting Komentar